Spinning Kunai - Naruto

Rabu, 10 Desember 2014

KONSEP DESA KREATIF




 KONSEP DESA KREATIF

Otonomi desa bukanlah sesuatu yang baru dalam wacana kedesaan di negara ini. Wacana ini muncul sebagai sebuah petunjuk baru mengenai jalan ruwet pemberdayaan masyarakat desa yang telah menjadi PR berat bagi semua stakeholders pemegang kebijakan di negara ini. Dalam pandangan penulis, otonomi desa harus diidentikkan dengan kemandirian desa dan kemandirian desa diidentikkan dengan pemberdayaan desa. Desa adalah unit pemerintahan yang secara langsung bersentuhan dengan dinamika masyarakat. Sehingga kemandirian desa harus didukung dengan kemandirian masyarakatnya, konsekuensinya, pemberdayaan desa harus disokong dengan pemberdayaan masyarakatnya.
Pemberdayaan desa dalam kerangka otonomi desa merupakan persoalan yang tiada henti menjadi polemik di berbagai kalangan pemerhati, baik dari dunia birokrasi, perguruan tinggi, partai politik maupun lembaga non-pemerintah. Polemik mengenai hal ini menjadi semakin terlihat setelah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan porsi otonomi kepada kabupaten/kota saja dan memposisikan desa hanya sebagai bagian dari penyelenggaraan urusan-urusan publik yang harus diselesaikan oleh kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pun belum memberikan ruang yang cukup bagi desa untuk memberdayakan masyarakatnya sendiri, karena hanya urusan-urusan publik yang bersifat mekanis saja yang diberikan kepada masyarakat desa. Ini terlihat dari pasal 7 peraturan pemerintah ini yang “hanya” memberikan 4 (empat) macam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, yakni:
1.            urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 
2.            urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 
3.            tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 
4.            urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. 
Posisi desa berdasarkan peraturan-peraturan di atas menjadi terjepit. Satu hal yang menarik dari huruf a pasal 7 PP Nomor 72 Tahun 2005 tersebut di atas adalah, bahwa dalam konteks otonomi – kalaupun ada – desa hanya diberi kewenangan asli untuk menangani urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. Artinya, kreativitas desa dalam membangun masyarakatnya menjadi kurang terakomodasi. Apalagi, ketentuan dalam huruf d pasal tersebut dapat memberikan pemahaman bahwa desa hanya bisa menunggu adanya “komando” dari peraturan perundang-undangan saja dan tidak dapat menginisiasi perubahan sendiri. Kedua ketentuan di atas juga didukung dengan ketentuan dalam huruf b dan huruf c, yang pada intinya, desa hanya mengakomodasi kepentingan pembangunan dari struktur pemerintahan di atas desa/supra desa. 
Fenomena ini menimbulkan berbagai permasalahan mendasar yang ujung-ujungnya justru tidak memajukan pembangunan di wilayah pedesaan, dan malah membuat laju pembangunan desa menjadi stagnan. Dalam pengamatan di beberapa forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa di Bantul dan Gunungkidul bulan Januari 2009 silam, penulis pernah mencatat ada beberapa fenomena menarik, yakni: 
a.            Dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa, para aktor perencana pembangunan cenderung memberikan porsi terbesar perhatian perencanaan terhadap aspek-aspek pembangunan fisik/pemerintahan saja (misalnya pembangunan PAH), sedangkan perencanaan pembangunan bidang ekonomi dan sosial-budaya menjadi kurang terperhatikan, atau hanya memperhatikan aspek-aspek fisiknya saja (misalnya, bantuan bibit padi Situbagendit dan pengadaan seragam untuk kelompok reog). Kondisi ini ternyata serupa dengan dengan kondisi perencanaan yang diamati oleh Huda Tri Yudiana, anggota fraksi PKS DPRD Sleman, bahwa di Kabupaten Sleman sendiri, 70% perencanaan pembangunan diisi dengan perencanaan fisik.
Hal ini mencerminkan kurangnya kapasitas pemerintah dan peserta perencanaan partisipatif dalam mengkerangkakan pemberdayaan masyarakat desa secara utuh. Dalam kerangka pembangunan kemandirian desa dan masyarakatnya, harus diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara melalui proses-proses motivasi dan pengorganisasian komunitas, assessment kebutuhan masyarakat, edukasi-edukasi yang terkerangkakan dengan sistematis, penggalangan dukungan stakeholders pemerintah maupun nonpemerintah, dan barulah bantuan dalam bentuk charity diberikan. Itupun harus dengan evaluasi dan rencana keberlanjutan yang matang dan terkerangkakan secara sistematis. 
b.            Regulasi yang mempersempit porsi kreativitas dan pola birokrasi desa yang cenderung menunggu komando memicu kurangnya keberanian stakeholders desa untuk mengambil inisiatif melakukan langkah secara radikal dalam kebijakan untuk menuju pembangunan yang lebih baik. Memang,ada beberapa desa yang berani melakukan langkah radikal dalam pembangunan desanya, seperti Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul. Desa ini telah berani menampakkan identitas dirinya melalui penyusunan Renstra Desa Wisata Wukirsari dengan dampingan NGO. Demikian juga desa Nglegi, Patuk Gunungkidul yang telah membudayakan perencanaan pembangunan partisipatif dengan melibatkan masyarakat desanya. Hanya saja, tidak semua desa memiliki sense pengembangan dan pemberdayaan semacam ini. Hal inilah yang kemudian mempersempit pula pemahaman stakeholders pembangunan desa di berbagai level tentang ruang lingkup pembangunan desa. Ini pulalah yang menyebabkan bahwa selama ini, perencanaan pembangunan pedesaan sering terfokus kepada pembangunan fisik semata.
c.            Konsep pemberdayaan masyarakat desa selama ini “berjalan sendiri-sendiri”. Program pemberdayaan yang telah ada regulasinya, seperti Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Desa (pelatihan PMD-Permendagri Nomor 19 Tahun 2007) tidak diikuti regulasi konsep keberlanjutan/sustainabilitas yang dapat digunakan untuk kontrol terhadap hasil riil dari pelatihan tersebut.
d.            Banyak peluang sumber pendanaan pembangunan desa yang masuk melalui program-program-program pembangunan, baik dana yang bersumber dari APBD Kabupaten, APBDes, Alokasi Dana Desa, Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, PNPM Mandiri misalnya. Sehingga di sini, diperlukan manajemen sumber daya dan sumber dana, dengan proses yang edukatif dan memberdayakan.
Untuk itulah diperlukan adanya perubahan strategi pemberdayaan pedesaan dalam hal ini. Pemberdayaan desa harus diskemakan dengan paradigma baru: DESA KREATIF. Paradigma ini harus terintegrasikan dalam segala konsep tentang pemberdayaan desa dan masyarakatnya, dengan konteks pembangunan partisipatif, sehingga akan menimbulkan implikasi yang akan masuk ke dalam ranah-ranah pembangunan sebagai berikut:

1. Implikasi terhadap politik makro supra desa
a. Harus ada pembaruan regulasi tentang otonomi desa, dengan konsep pemberdayaan masyarakat yang jelas, dengan melibatkan desa sebagai aktor utama pembaruan desa
b. Harus ada pengawalan regulasi yang mendukung otonomi desa.
Catatan: di tingkat kabupaten harus ada regulasi yang memberikan kewenangan kepada desa sebagai daerah otonom; di tingkat desa diberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan proyek-proyek swakelola untuk dana-dana kecil (misal di bawah Rp. 50 juta)
2. Dalam Perencanaan Dan Penganggaran Pembangunan
a.            Perencanaan pembangunan pedesaan harus didesain dengan konsep pemberdayaan masyarakat.
b.            Penganggaran pembangunan pedesaan harus diimbangi dengan kinerja berbasis pemberdayaan masyarakat desa (petani, pedagang pasar, makanan olahan, dll)
c.            Perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan harus disertai dengan mekanisme pelibatan masyarakat desa.
d.            Untuk perencanaan dan penganggaran yang sifatnya fisik dan pemerintahan desa, hankam/tanggap bencana harus di sertai dengan mekanisme pengawasan pemerintahan yang jelas dan konsisten oleh multistakeholders (pemerintah, masyarakat, non-pemerintah),
e.            Untuk perencanaan dan penganggaran yang sifatnya ekonomi, sosial-budaya, harus disertai dengan mekanisme pelibatan masyarakat, target/tujuan akhir 1 tahun, konsep sustainabilitas, dan mekanisme pengawasan seperti dalam huruf d.
3. Dalam Pembangunan Kemandirian Masyarakat Desa.
a. Metode pemberdayaan adalah dengan pengorganisasian, edukasi, charity, networking, dengan diutamakan melakukan optimalisasi sumber daya lokal dalam mengali potensi-potensi program dan pendanaan. (Misalnya dengan strategi 
b. Strategi pemberdayaan, dimulai dengan baseline data berbasis riset aksi partisipatoris (PAR), dilanjutkan dengan program edukasi dan charity dengan sinergi/mobilisasi resources (NGO, Perguruan Tinggi, Program Pemerintah, CSR), dan terakhir, akses pasar, akses modal (Kredit Tanpa Bunga, dll) dan akses teknologi.
c. Semua proses pembangunan kemandirian desa harus disertai dengan program peningkatan kapasitas pemberdayaan masyarakat bagi pemerintah desa.
d. Pemberdayaan yang baik adalah pemberdayaan yang sustainable.
4. Dalam Alokasi Dana Desa (ADD)dan dana lain yang digulirkan ke desa..
a. Alokasi dana desa (ADD) harus digulirkan dengan dasar pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas perangkat desa.
b. Pengguliran ADD harus disertai dengan mekanisme pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring penggunaannya.
c. Jumlah ADD disesuaikan dengan arah dan fungsi pemberdayaan masyarakat desa (money follow function).
d. Ada alokasi dana untuk pemberdayaan desa, langsung dari APBN (seperti LM3), dengan metode pemberdayaan yang jelas dan terarah.
Demikianlah pemikiran mengenai pembaruan desa. 

0 komentar:

Posting Komentar

Anda Sopan , Saya Segan !! =D